Senin, 31 Oktober 2011

Pelacakan Dan Pemeriksaan DNA

Setelah pemboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa hari yang lalu, saat ini perhatian kita terarah pada pelacakan korban meninggal, yang beberapa diantaranya diperkirakan pelaku bom bunuh diri. Pada kasus bom semacam ini hal penting yang harus dilakukan adalah pemeriksaan terhadap korban meninggal secara kedokteran forensik. Terhadap semua korban meninggal harus dilakukan autopsi, untuk menentukan jenis perlukaan dan kekerasan penyebabnya, pencarian penyebab dan mekanisme kematian, saat kematian dan yang tak kalah pentingnya adalah identifikasi korban.
Korban pemboman secara kedokteran forensik dicirikan oleh adanya perlukaan akibat ledakan, luka bakar, keracunan CO dan luka akibat serpihan yang mengenai tubuh. Autopsi forensik penting secara legal, karena akan memberikan alat bukti tindak pidana berupa alat bukti surat (visum et repertum) dan keterangan ahli dan akan memberikan keyakinan pada hakim. Atas dasar kedua hal tersebut, ditambah bukti-bukti lain maka hakim akan dapat secara mantap menjatuhkan vonis pada tersangka pelakunya secara adil, berdasarkan pasal 183 KUHAP.
PEMERIKSAAN KORBAN BOM
Korban meninggal akibat bom dapat dikenali dari keadaannya yang umumnya hancur tercerai berai untuk korban yang berada dekat dengan pusat ledakan. Ledakan bom terhadap korban yang dekat dari pusat ledakan secara langsung akan mengakibatkan luka-luka ledakan berupa tubuh yang hancur berkeping, dan amputasi pada berbagai bagian tubuh. Ledakan dari daerah bawah tubuh misalnya akan menyebabkan amputasi tungkai bawah dengan kepala utuh, sedangkan bom yang dililitkan pada tubuh akan menghancurkan batang tubuh dan juga sebagian kepala bagian bawah. Atas dasar pola luka tersebut dokter forensic akan dapat memperkirakan posisi korban terhadap bom yang meledak.
Korban yang berada dekat dengan pusat ledakan juga akan menunjukkan adanya luka bakar, dari yang ringan sampai berat tergantung posisinya dari lokasi yang terbakar. Dari pola luka bakar yang terjadi dokter forensik kemungkinan juga dapat memperkirakan posisi korban dan kemana korban menghadap ketika terjadi kebakaran pasca ledakan.
Untuk korban yang berada dalam radius yang lebih jauh, ledakan bom akan menyebabkan luka-luka terbuka akibat masuknya pecahan bom atau benda lain yang terlontar ke dalam badan. Luka jenis ini dapat dikenali berupa banyak lubang luka dengan serpihan benda asing di dalamnya.
Pada beberapa korban bom mungkin pula terjadi luka sekunder, misalnya luka akibat tertimpa kaca atau bahan bangunan yang hancur akibat ledakan atau luka akibat terinjak-injak saat semua orang panik pasca ledakan.
Pada kondisi khusus, misalnya pada pemboman gedung BEJ Jakarta beberapa tahun yang lalu, korban dapat juga meninggal akibat keracunan CO saat menghirup udara yang penuh gas karbon monoksida (CO) yang terbentuk dari ledakan dan terjebak di area gedung parkir akibat ventilasi yang buruk

IDENTIFIKASI PERSONAL
Identifikasi korban pemboman perlu dilakukan karena korban sulit dikenali lagi, akibat hancurnya tubuh akibat ledakan. Pada kasus ledakan Bom di hotel JW Marriote dan Ritz Carlton, dari TKP penyidik mendapatkan beberapa batang tubuh, dua kepala dan banyak serpihan bagian tubuh manusia.
Identifikasi korban secara forensik pada prinsipnya adalah pembandingan data sebelum meninggal (ante mortem) dan data setelah meninggal (postmortem). Semakin banyak data yang cocok, maka akan semakin yakin kita bahwa korban adalah benar Tuan X. Sebaliknya, jika ditemukan ada ketidaksesuaian, maka kita juga yakin bahwa korban adalan bukan Tuan X.
Data postmortem diperoleh melalui pemeriksaan terhadap korban atau serpihan tubuh korban oleh dokter forensic. Data antemortem diperoleh oleh tim lainnya, yang melakukan pengumpulan data tersangka korban dari keluarga, kerabat, data medis, data gigi dan sebagainya. Selanjutnya dilakukan pembandingan antara data postmortem dan data antemortem, untuk mencari adanya kesesuaian antara keduanya. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak data yang sesuai antara keduanya semakin meyakinkan bahwa korban adalah tersangka korban. Dengan demikian tugas kedua tim ini adalah mencari data sebanyak mungkin dari serpihan tubuh korban dan keluarga tersangka korban. Data yang dikumpulkan meliputi data visual (gambaran profil atau bagian tubuh), pakaian, perhiasan, dokumen, data medis (ras, umur, jenis kelamin, ciri khusus, DNA), serologi (golongan darah), sidik jari, dan data gigi.
Dari semua data tersebut diatas, pemeriksaan gigi, sidik jari DNA merupakan 3 data penentu identitas, yang dikenal sebagai data identifikasi primer, sementara data lainnya disebut sebagai data identikasi sekunder yang hanya bersifat mengarahkan dan memperkuat data identifikasi primer.
Data sidik jari pada kasus pemboman biasanya sulit didapat karena ujung jari sulit ditemukan, tidak lengkap, sudah rusak atau terbakar. Data gigi amat membantu pada identifikasi korban yang berasal dari luar negeri, karena data antemortem giginya biasanya lengkap dan mudah diperoleh. Identifikasi orang Indonesia melalui pemeriksaan gigi biasanya sulit dilakukan karena data antemortem gigi sulit diperoleh karena jarangnya kunjungan ke dokter gigi dan kurang baiknya dental record di kalangan dokter gigi praktek di Indonesia
Atas dasar itu maka untuk korban yang sulit diidentikasi dengan cara lain, maka pemeriksaan DNA merupakan pemeriksaan yang paling dapat diandalkan untuk pemastian identitas.

PEMERIKSAAN DNA
DNA merupakan materi keturunan yang dipunyai setiap orang dan merupakan blueprint setiap individu. Setiap orang memiliki banyak sekali DNA dalam sel tubuhnya, dimana separuhnya berasal dari ibunya (DNA maternal) dan separuhnya berasal dari ayahnya (DNA paternal). Sesuai dengan rekomendasi dari FBI pada tahun 1990, maka untuk kasus identifikasi forensik, pada saat ini yang direkomendasikan untuk diperiksa adalah 13 lokus (daerah) DNA yang ukurannya pendek-pendek, yang dikenal sebagai Short Tandem Repeats (STR). Anjuran pemeriksaan terhadap panel 13 lokus STR ini (dikenal sebagai CODIS 13) dilakukan karena terbukti merupakan panel pemeriksaan yang sangat akurat dan sebagai standarisasi yang sifatnya internasional, agar data pemeriksaan DNA yang dilakukan oleh berbagai laboratorium DNA forensik di dunia seragam dan dapat dibandingkan satu sama lain
Pada kasus identifikasi korban bom ada dua tahapan pemeriksaan DNA yang dapat dilakukan. Tahapan pertama adalah penggolongan serpihan atau potongan tubuh melalui matching analysis. Pada analisis ini berbagai potongan tubuh manusia diperiksa profil DNA nya. Karena pada setiap lokus STR setiap individu punya dua pita DNA, maka pada setiap lokus STR yang diperiksa akan didapatkan kombinasi 2 angka yang menunjukkan panjangnya DNA. Dengan demikian, jika dilakukan pemeriksaan DNA pada 13 lokus, akan dihasilkan kombinasi 26 angka, yang menunjukkan profil spesifik setiap individu. Karena setiap bagian tubuh manusia yang sama memiliki pola DNA yang sama, maka potongan tubuh manusia yang sama profil DNAnya pastilah berasal dari individu yang sama. Hasil dari matching analysis ini adalah penggolongan potongan berdasarkan individunya
Pada tahapan berikutnya akan dibuktikan identitas individu masing-masing melalui FCM analysis. Pada analisis ini, identifikasi individu dihubungkan dengan DNA sepasang suami istri (korban sebagai anak), atau dihubungkan dengan seorang wanita dan anaknya (korban dalam posisi sebagai ayah). Hukum Mendel menyatakan bahwa separuh DNA anak berasal dari ibunya dan separuh lainnya berasal dari ayahnya. Hasil dari analisis FCM ini berupa kesimpulan match (sesuai, klop) atau eksklusi (tersingkir). Match adalah suatu keadaan dimana satu DNA anak sama dengan salah satu DNA ibu, dan DNA anak satunya lagi sama dengan salah satu DNA ayah. Seorang individu adalah anak biologis dari satu pasangan suami istri, jika analisis semua (13) lokus STR menunjukkan keadaan match. Eksklusi adalah suatu keadaan dimana DNA anak hanya satu yang sama atau sama sekali tidak ada yang sama dengan DNA pasangan tersebut. Ditemukannya keadaan ekslusi pada 2 lokus atau lebih dari 13 lokus STR yang diperiksa, memastikan bahwa anak tersebut BUKAN anak biologis dari pasangan tersebut atau identifikasi negatif. Karena ketepatannya yang tinggi, hasil analisis DNA memiliki nilai pemastian identitas yang amat kuat.
Contoh analisis FCM dengan hasil Match:
Father (F) atau Bapak : 12, 14
Child (C )atau anak : 12, 17
Mother (M) atau Ibu : 17, 20
Contoh analisis FCM dengan hasil Eksklusi:
Father (F) atau Bapak : 12, 14
Child (C )atau anak : 10, 22
Mother (M) atau Ibu : 17, 20
PENGHITUNGAN STATISTIK
Suatu hasil analisis FCM yang menunjukkan keadaan match pada semua (13) lokus STR harus dianalisis lebih lanjut secara statistic untuk mencari seberapa tinggi nilai ketepatan analisis tersebut. Untuk itu harus dilakukan penghitungan Cummulated Paternity Index (CPI), yaitu suatu angka yang menunjukkan seberapa kali lebih mungkin seorang pria merupakan ayah dari seorang anak, dibandingkan sembarang pria lain dalam populasi.
Dengan menggunakan rumus Brenner dan database DNA populasi yang sesuai, maka nilai CPI kasus ini dapat dihitung. Misalnya, suatu analisis FCM yang memiliki CPI sebesar 2.451, artinya tersangka ayah 2.451 kali lebih mungkin merupakan ayah biologis dari anak tersebut dibandingkan pria lain dalam polpulasi. Dengan demikian semakin tinggi angka CPI pada suatu kasus, maka semakin meyakinkan bahwa anak tersebut memang merupakan anak biologis dari pasangan tersebut.
Untuk populasi orang Indonesia, saat ini kita telah memiliki database DNA populasi (Untoro, Atmadja dan Pu, 2009) untuk CODIS 13. Data ini amat bermanfaat dalam penghitungan CPI pada kasus yang melibatkan orang Indonesia karena hasil penghitungannya lebih tepat, dibandingkan jika analisis dilakukan dengan menggunakan data Asia, seperti yang selama ini dilakukan.
PELACAKAN PELAKU DAN KORBAN
Pada kasus bom JW Mariott dan Ritz Carlton, identifikasi terhadap korban pada akhirnya menyisakan 2 batang tubuh, dua kepala dan beberapa serpihan tubuh manusia, yang belum teridentifikasi. Berdasarkan dugaan bahwa tersangka pelaku bom bunuh diri adalah yang terkena dampak bom paling besar, maka kedua kepala itu dicurigai sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut.
Atas dasar itu maka pemeriksaan DNA dilakukan pada kedua potongan kepala dibandingkan dengan 2 pasang suami istri yang merupakan ayah dan ibu dari tersangka yang dicurigai oleh penyidik. Sayangnya, ternyata analisis FCM pada kedua kepala tersebut ternyata tidak cocok, sehingga pupuslah dugaan awal tersebut. Dengan demikian, maka untuk memperoleh kepastian siapakah pemilik kedua kepala tersebut, maka penyidik harus mencari tersangka lainnya yang mungkin. Dan itu berarti, masih diperlukan waktu yang lebih lama lagi untuk mendapatkan kepastian siapakah pemilik kedua kepala tersebut.

Sumber :
  1. Dr. Djaja Surya Atmadja, SpF, PhD, SH, DFM (Dokter spesialis forensik, PhD dalam bidang DNA forensik)
  2. Dr. Evi Untoro, SpF (Dokter spesialis forensik, peneliti DNA forensik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer