Minggu, 29 Maret 2009

Gali Potensi, Raih Prestasi!


ArtikelOleh: Syaifoel Hardy

Hampir setiap orang bisa dipastikan ingin meraih kesempurnaan hidup. Dunia terangkat, akhirat didapat. Dalam paham komunisme, sekalipun tidak meyakini adanya kehidupan sesudah mati, mereka tetap memimpikan adanya kesempurnaan hidup, yaitu dengan pencapaian kebahagiaan dunia. Untuk meraih tujuan yang satu ini, caranya bermacam-macam. Salah satu di antaranya adalah menumbuhkan segala potensi yang kita miliki. Artikel ini mengidentifikasi langkah-langkah guna meningkatkan potensi diri dalam meraih prestasi.

Memupuk potensi, memang tidak mudah. Namun juga bukan persoalan yang rumit. Potensi, menurut Webster’s Dictionary, berasal dari kata ‘potent’ yang berarti ‘to be powerful’ atau menjadi kuat. Sedangkan kata ‘potency’ berarti ‘the ability or capacity to achieve or bring about a particular result’, yaitu kemampuan menghasilkan atau melahirkan suatu produk tertentu. Lawan katanya tentu saja impotent alias ketidakmampuan, atau ketidakberdayaan.

Tidak satupun di antara kita, apalagi professional, mau disebut sebagai orang yang tidak berdaya. Karena orang-orang yang masuk kategori ini hanyalah orang-orang yang malas. Di rumah sakit jiwa (RSJ) saja, pasien-pasien dengan gangguan dan sakit jiwa ini dibekali dengan berbagai aktivitas positif. Malah di unit rehabilitasinya, mereka ini mampu menghasilkan uang. Hasil karya pasien-pasien RSJ kemudian, tentu dengan bantuan manajemen rumah sakit, dijual hingga dipamerkan. Demikian pula di panti-panti anak-anak cacat, orang jompo, dan lain-lain. Mereka tidak jarang menghasilkan karya-karya, hasil buah tangan yang membuat orang normal kagum. Pemberdayaan segala potensi yang ada ini, jika diupayakan dengan sungguh-sungguh, bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Thomas Alva Edison (1847-1931), penemu generator listrik di Amerika Serikat, melakukan 2000 kali percobaan sebelum dia mendapatkan hasilnya. Selama itu pula dia katakan bahwa apa yang dilakukan bukanlah kegagalan.

Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan, sepanjang bertujuan positif, akan membuahkan hasil tertentu yang juga positif. Dari sini tersirat upaya penumbuhan dan pengembangan potensi maksimal. Kita biasanya kurang pandai mengidentifikasi potensi yang kita miliki.

Ada beberapa hal yang menyebabkan ketidakmampuan ini. Baik faktor dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Jika dirinci secara umum, faktor-faktor tersebut meliputi: kurangnya materi (poverty), rendahnya penampilan fisik (lack of performance), kedangkalan ilmu (lack of knowledge), serta tidak memiliki keterampilan cukup (unskilled). Ketidak-adaan salah satu atau gabungan dari keempat faktor inilah yang membuat kita menjadi ‘rendah diri’, sehingga pemupukan potensi jadi terhambat atau tidak pernah muncul sama sekali.

Dalam sudut pandang profesionalisme, ‘kegagalan’ ini tentu saja tidak harus terjadi, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan di dalamnya. Proesionalisme mengajarkan kita untuk bekerja keras dan pandai memanfaatkan waktu. Di dalam Islam, Allah SWT bersumpah dengan waktu (Al-Quran Surat Al ‘Asr: 1-3). Rasulullah SAW dan Sahabat-sahabat beliau SAW dalam banyak riwayat disebutkan bahkan jarang tidur karena berbagai aktivitas. Setiap kegiatan positif yang diniatkan ibadah dalam Islam akan mendapatkan pahala.

Kita memang tidak mungkin menyamakan kedudukan atau kegiatan kita dengan apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat-sahabat beliau SAW. Kita juga tidak perlu meniru apa yang pernah dikerjakan oleh Thomas Alva Edison. Namun kita bisa meneladani apa-apa yang beliau-beliau pernah lakukan. Bahwa guna mewujudkan sebuah tujuan, apapun, dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan. Tanpa kesungguhan dan keseriusan, tidak mungkin kita bisa mewujudkan semua impian kita.

Saya pernah bertanya kepada salah seorang rekan yang hanya berbekal ijazah SPK di Qatar tentang rencananya kelak apabila balik ke Indonesia, termasuk uang hasil kerjanya mau diapakan. Konon, mengantongi ijazah SPK di Indonesia, seperti menemui jalan buntu: sekolah lagi sulit, apalagi kerja! Oleh sebab itu, katanya, dia ingin menggunakan duitnya, mengembangkan tanahnya yang seluas 4 hektar untuk menjadi lahan pertanian yang subur dan menghasilkan.

Tujuan tersebut mulia dan sah-sah saja. Tanpa bermaksud merendahkan niat dan tujuan yang baik tersebut, kemudian saya tanya sejauh mana dia mengambil langkah-langkah konkrit guna mencapainya. Misalnya, apakah dia belajar tentang pertanian saat ini sementara bekerja di gurun pasir? Apakah dia belajar ilmu perdagangan dengan mengambil BBA atau MBA, ataukah dia belajar tentang manajemen keuangan? Sayangnya, dia tidak membeberkan langkah-langkah nyata dalam merealisasikan impiannya. Sikap seperti inilah yang perlu dikoreksi. Uang saja, belum cukup dan bisa menjadi jaminan dalam pemanfaatan pencapaian tujuan. Betapapun rekan saya tadi gemar akan pertanian, akan tetapi belajar bertani di tanah Qatar nyaris tidak memungkinkan. Kecuali bila berencana menjadi manajer pertanian di Indonesia. Hanya saja, berapa besar risiko seorang menajer yang kurang ahli di bidang yang digelutinya?

Kita ini memang lemah. Kita tidak akan bisa sempurna, meniru persis seperti apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Namun demikian, Rasulullah SAW adalah juga manusia biasa, yang kalau kita mau mengaji, ada hal-hal yang bukannya di luar kemampuan kita untuk mencontohnya. Rasulullah SAW pernah menjadi seorang negarawan yang hebat; seorang ahli perang yang gagah berani; ahli hukum yang bijaksana; seorang ayah yang penuh kasih; pedagang yang jujur; hingga penggembala domba yang bisa dipercaya. Subhanallah, karakter yang dimiliki beliau SAW bukan hanya dikagumi oleh kawan, musuh beliau pun dibuat takjub.

Terlepas dari kebesaran Allah SWT atas keberhasilan beliau SAW dalam membawa misi Islam yang hanya dalam dua dekade saja bisa menguasai jazirah Arabia, beliau SAW hanyalah manusia biasa, sebagaimana kita. Beliau memiliki waktu 24 jam sehari, berkeluarga dan bermasyarakat, bekerja mulai dari yang nampaknya sepele misalnya menjahit baju hingga mengurus pemerintahan sebuah negara, butuh istirahat dan makan, dan lain-lain. Begitulah Rasulullah SAW. Berbeda dengan kita, beliau SAW jauh dari menjalankan kegiatan yang sifatnya sia-sia dan tidak bermanfaat. Di sinilah membuktikan bahwa Rasulullah SAW sangat menghargai waktu.

Di dunia, hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang mampu menandingi kualitas beliau SAW sebagai manusia yang terbaik. Dari berbagai sudut pandang, politik, ekonomi, sosial, spiritual, hingga pertahanan keamanan, beliau memiliki kesungguhan dalam menjalankan misi mulianya sebagai seorang Rasul. Namun demikian, Allah SWT menghadiahkan potensi tidak hanya kepada Rasul-RasulNya. Tetapi juga kepada semua manusia, tanpa memandang latar belakang agama dan status sosial lainnya. Siapa yang tekun, akan beruntung. Kalau orang-orang yang terganggu jiwanya, buta, lumpuh atau mereka yang kehilangan tangan, dapat melakukan sesuatu yang produktif, mengapa kita yang dikaruniai jasmani-rohani lengkap ini tidak kita maksimalkan?

Kemiskinan (proverty) bukanlah alasan kita untuk tidak bisa aktif, karena Rasulullah SAW bukan orang kaya. Ketidak-tampanan atau kurang cantik (lack of performance) bukan alasan untuk tidak bisa menumbuhkan potensi, karena Rasulullah SAW atau isteri-isteri serta puteri-puteri beliau tidak menggunakan ketampanan atau kecantikannya untuk pencapaian tujuan hidup sebagaimana ratu kecantikan yang melanda dunia kita sekarang. Kekurangan pengetahuan (lack of knowledge) dan ketrampilan (unskilled) bukan pula mestinya menjadikan kita untuk pasif. Sahabat-sahabat Rasulullah semula banyak yang buta huruf dan tidak berpengetahuan. Musuh-musuh beliau SAW yang menjadi tawanan perang lah yang mengajari mereka membaca menulis. Dengan kesungguhan belajar, mereka kemudian dinobatkan menjadi umat pilihan dan terbaik oleh Allah SWT. Hal ini disebutkan dalam al-Quran Surat Ali Imran: 109.

Kita tidak bisa memotong rambut, karena tidak pernah mau belajar memotong. Kita tidak bisa menjahit baju robek, karena tidak pernah mau melihat bagaimana cara menjahit. Kita tidak bisa menanam sayur di halaman rumah yang kosong, karena tidak pernah meniatkan untuk itu. Kita tidak bisa memasak enak, karena tidak pernah bertanya pada orang-orang yang pintar memasak. Kita memiliki pengetahuan yang minim, karena kita tidak pernah menyisakan waktu untuk membaca buku. Kita tidak memiliki teman dan banyak saudara, karena kita terlalu membatasi diri. Kita tidak mampu bicara bahasa Inggris karena memang tidak pernah praktik.

Jika diurut, betapa panjangnya rentetan ketidak-mampuan kita, yang bukan disebabkan karena faktor luar. Terlebih, karena ketidak-sungguhan diri kita. Hasan al-Banna pernah mengatakan, ‘waktu adalah kehidupan’. Itu berarti, bahwa jika kita hidup, sudah seharusnya kehidupan ini kita ‘isi’. Memanfaatkan waktu dengan kesungguhan dalam melakukan kegiatan adalah kuncinya. Kenapa negara kita yang kaya raya dan besar ini terpuruk? Dengan Singapura yang luasnya tidak lebih dari Jawa Timur saja kalah. Apalagi dengan negara-negara Timur Tengah, Eropa dan Amerika. Ini karena orang-orang kita tidak lagi melakukan pekerjaan dengan kesungguhan.

Salah seorang Menteri Pariwisata kita beberapa tahun lalu dalam seminar di Bali, sempat jadi bahan olokan peserta hanya karena tidak becus berbahasa Inggris. Di Nusa Tenggara Barat dan Timur kasus busung lapar merajalela, padahal Tanah Air kita terkenal subur. Dulu orang Malaysia belajar di pesantren-pesantren kita. Kini, pendidikan kita, dilirik saja tidak. Tahun-tahun terakhir ini, rombongan Malaysia mempromosikan pendidikannya di Dubai dan Pakistan. Ahli pendidikan kita, akan melawat kemana?

Kita bisa belajar dari yang kecil. Pertama, coba identifikasi potensi dan kemampuan diri sendiri serta memanfaatkannya dengan maksimal. Mengidentifikasi kemampuan diri berarti refleksi diri, melihat kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Kita coba berkaca, apa kemampuan yang nampak menonjol pada diri kita, apakah itu di bidang mesin, kesehatan, administrasi, teknik, pertukangan, perhotelan, perdagangan, elektronik, komunikasi, bahasa dan lain-lain. Jadi, misalnya, anda ingin investasi bidang pertanian sementara tinggal di luar negeri, bisa saja. Caranya, dengan belajar tentang pertanian. Tapi kalau anda belajar pertanian di Timur Tengah sementara lahan ada di Indonesia, maka pelajaran anda sebenarnya kurang relevan. Sebaliknya, jika anda merasa bakal berdagang, sambil menabung hasil kerja di negeri Arab, anda asah potensi ini dengan belajar ilmu yang terkait dengan perdagangan. Kalau anda seorang nurse, pertajam karir anda menuju arah spesialisasi.

Kedua, perluas hubungan. Membatasi pergaulan berarti menghambat perkembangan potensi. Rasulullah SAW selalu bersama dengan sahabat-sahabat beliau jika kemana-mana pergi. Demikian pula sahabat-sahabat beliau. Menjalin hubungan dengan orang lain berarti membuka pintu potensi baru yang selama ini tertutup. Kita tidak pernah tahu bagaimana nikmatnya bisa berbicara bahasa Arab atau Inggris kalau kita tidak bertemu langsung dengan pembicara aslinya. Kita tidak akan tahu bagaimana mengoperasikan telepon genggam jika kita tidak pernah kenal dengan orang yang mampu menggunakannya. Cari teman yang luas wawasannya. Kita akan seperti singa jika selalu bergaul dengan singa!

Ketiga, jangan biarkan diri ini diam manakala sendirian. Di dalam Islam, tidur pun bisa berarti ibadah. Tapi itu bukan berarti dapat kita terjemahkan bahwa banyak tidur lantas banyak ibadah. A.B.Vajpayee saja, mantan Perdana Menteri India, membatasi tidurnya hanya empat jam sehari. Demikian pula rata-rata pemimpin dunia, sedikit tidur. Jadi, jangan lantaran dinas malam, lantas seharian kita tidur!

Kita bisa mengisi waktu sehari-hari ini dengan berbagai kegiatan yang memberikan sumbangan pengetahuan dan keterampilan. Dalam kesendirian, kita bisa jadi seorang peneliti, penulis, hingga pengamat yang handal. Multi-skilled man, manusia yang memiliki keterampilan ganda. Tukang kayu merangkap kemampuan reparasi elektronik. Pinter masak tapi juga pandai memotong rambut. Insinyur namun juga pandai dakwah. Nurses yang terampil merawat pasien, ternyata juga pandai menulis, lancar berbahasa Inggris, mampu mengajar, dan lain-lain.

Ringkasnya, kita tidak butuh sederetan gelar ataupun segudang penemuan ilmiah agar dikatakan berprestasi dalam hidup ini, karena poin tertinggi manusia di hadapan Allah SWT hanyalah taqwa. Kita bisa ‘besar’ karena telah mampu menemukan potensi yang ada dalam diri kita sendiri. Dari penggalian kompetensi diri insyaallah akan lahir manusia-manusia yang berkualitas, berpotensi tinggi, hingga manusia ahli dalam berbagai profesi tidak terkecuali nursing.

Penggalian potensi diri yang tepat akan membuat individu sadar akan perannya. Setiap pribadi yang cinta kerja, apalagi jika dilandasi niat ibadah, akan menciptakan tatanan dan pola pikir masyarakat yang sehat, yang pada akhirnya, insyaallah bakal mampu mengeliminasi salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa kita selama ini, yakni pengangguran. Wallahu a’lam!


20 February 2009

Shardy2@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer