Minggu, 29 Maret 2009

Blame Culture


ArtikelOleh: Syaifoel Hardy

Blame culture. Budaya menyalahkan orang lain, bukan hal baru bagi kita. Terjadi di mana-man, hampir di setiap lini kehidupan kita. Bagi profesi, tentu saja kebiasaan ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena jika kita sudah ‘keenakan’ karenanya, dampaknya besar. Di antaranya mengakibatkan keterpurukan reputasi pribadi juga organisasi. Artikel ini berusaha memaparkan contoh serta kiat mengatasi kebiasaan yang tidak sehat ini.

*****


Tiga pekan terakhir ini, saya menyelenggarakan pelatihan IELTS Preparatory Program bagi teman-teman yang membutuhkan. Saya katakan membutuhkan karena tidak semuanya memang butuh. Layaknya orang berdagang keliling (walaupun kegiatan saya yang satu ini tidak sama dengan dagang), mereka menjajakan barang-barang atau makanan yang ‘barangkali’ diperlukan oleh pelanggan. Semurah apapun barang dagangannya, misalnya : pisang goreng, tidak lantas membuat semua orang tertarik. Bahkan orang yang melarat sekalipun. Sebaliknya, betapapun mewah, menarik dan mahal barangnya, pula bukan jaminan bagi yang kaya untuk membelinya.

Saya sangat menyadari, di tengah kehidupan kita yang kompleks, padat aktivitas, apalagi kita yang bekerja, tidak mudah meluangkan waktu mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra seperti yang sedang berlangsung di apartemen saya. Oleh sebab itu, saya sangat mengagumi sekaligus menghargai mereka yang begitu bersemangat mengikuti kegiatan ini, dua kali sepekan, ba’da Maghrib.
Beragam alasan rekan-rekan, mengapa harus melibatkan diri dalam kegiatan seperti ini. Ada yang pingin melanjutkan belajar. Ada yang demi perkembangan profesi. Ada pula yang berambisi memperbaiki kualitas Bahasa Inggrisnya. Yang jelas, setumpuk hikmah yang saya bisa paneni dari hasil kegiatan-kegiatan semacam ini.

Sesudah memasuki pekan ke tiga, saya tidak melihat tanda-tanda bahwa nama-nama yang terdaftar dalam data yang masuk, bisa secara ajek mengikuti kegiatan. Saya cukup maklum. Jangankan untuk kegiatan ektra semacam ini di mana harus mengeluarkan pikiran, tenaga bahkan biaya (setidaknya transport dan foto kopi). Dibayarpun, terkadang kita melihat orang-orang masih ada saja yang ‘ogah’ untuk datang. Maka, sudah selayaknya, apabila kita menempatkan persoalan ini sebagai sesuatu yang ‘wajar’. Tidak ada yang perlu digelisahkan.
Namun yang namanya manusia, seperti anda, saya juga tidak lepas dari yang namanya merasakan hal-hal apakah itu yang bersifat positif maupun negatif. Teori atau omongan saja terkadang tidak cukup, lantaran realita. Oleh sebab itu, terkadang saya meresakan ‘sedih’ apabila ada rekan-rekan yang tidak datang atau, agar tendensinya positif, berhalangan datang.

Sebagai instruktur, bisa saja dengan seenaknya dengan bertolak pada pada otoritas saya, mengatakan: “Toh bukan saya yang butuh? Ngapain harus saya urusin? Bukankah mereka yang perlu?” Simply, saya bisa salahkan mereka, para peserta yang malas-malasan datang!

Akan tetapi, benarkah sebenarnya sikap yang demikian itu dari kacamata profesi? Ada semacam kontradiksi dalam batin ini.

*****

Manusia selalu dilengkapi dengan dua kontradiktif karakter: baik dan buruk, positif dan negatif. Mana yang bakal lebih dominan, tergantung dari sudut pandang mana kita mengasahnya. Tidak bedanya dengan kegemaran atau hobi. Sepanjang suatu kegiatan itu memberikan kesenangan dan kepuasan, maka tidak ada istilah ‘lelah’ di dalamnya. Orang bakal senang atau tidak merasa capek sama sekali manakala mereka menjalani kegiatan itu, meski berjam-jam. Lima menit pun terasa seperti lima jam, jika kita tidak suka.

Pemikiran seperti inilah yang kemudian muncul berkali-kali dalam pikiran saya. Jangan-jangan mereka tidak datang karena ‘kesalahan’ sikap saya. Bisa saja karena pembicaraan saya yang suka ceplas-ceplos. Atau mereka tersinggung. Atau saya yang kurang ramah menjamu. Metode penyampaian materi yang kurang pas, variasi belajar-mengajar yang monoton, tidak ada unsur belajar siswa aktif, kurang memberikan perubahan yang bermakna dan lain-lain alasan yang saya coba analisa.

Saya coba menggali dan menggali apakah memang ini dari saya sebagai pelaku utama yang menyebabkan ketidak-hadiran mereka. Saya tetap berkeyakinan, bahwa peserta yang semuanya bekerja shift, bukan lantas saya jadikan ‘kambing hitamnya’. Betapapun perubahan jadwal dinas yang ketat, sepanjang kita berminat dan serius, segala-sesuatunya bisa direncanakan. Makanya, saya melihat sebenarnya bukan kesalahan peserta apabila tidak datang. Justru saya sebagai instruktur lah yang nampaknya kurang pandai memotivasi kelancaran kegiatan ini.

Saya kemudian mencoba menghubungi salah satu rekan yang berhalangan datang dua kali, menanyakan apa sebenarnya kesalahan saya yang membuat dia tidak hadir. Jawabannya membuat saya tidak percaya. Lantaran katanya bukan saya penyebabnya. Dalam hati, saya tetap sedih, betapapun penyebabnya bukan saya!

*****

Seringkali dalam banyak peristiwa kehidupan, kita dihadapkan kepada kejadian yang membuat kita berada di tengah-tengah, seolah-olah menjadi hakim yang mengadili: siapa yang salah? Di rumah, di sekolah, di jalan ketika mengendarai mobil, di pasar saat tawar-menawar barang, di kantor telepon waktu antri membayar rekening, di bank ketika mengisi formulir, di bioskop saat antri beli karcis, di bandara manakala menuju pesawat yang akan terbang, apalagi yang namanya di kantor, ketika terjadi kesalahan yang berulang-ulang, di rumah sakit atau klinik saat pelayanan kesehatan kurang maksimal, di ambulance ketika kasus emergency terlambat penanganannya.

Rentetan kejadian di atas, umumnya diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Siapa lagi kalau bukan…..?” ; “Tuh…lihat!”; “Dasar….Indian….!”; “Asal tahu saja kelakuan mereka…..!”; “Kayak nggak hapal dengan orang Filipina saja!”; atau…”Itulah watak orang kita…!”; dan lain-lain.
Ungkapan-ungkapan di atas tendensinya memojokkan seseorang dan memiliki kecenderungan kita untuk menyalahkan pihak atau orang lain, atau istilahnya ‘berburuk sangka’. Padahal belum tentu benar penilaian kita.

Suatu hari, saya sempat berdebat agak ‘panas’ dengan salah seorang rekan kerja saat membicarakan suatu tugas yang saya kurang setuju dilibatkannya dalam beberapa aspek di kantor tempat saya kerja. Katanya, ada resisten dari saya. Sesudah berdebat yang tidak ada akhirnya, kami pisah. Rekan saya satunya, menganggap bahwa kami sama-sama bertemperamen ‘keras’, sehingga tidak membuahkan hasil.

Esok harinya, seperti halnya sebagian besar warga kita yang ‘sulit’ melupakan ‘konflik’, saya masih merasakan ada ‘jarak’ di antara kami. Hari-hari yang biasanya diisi dengan: assalamu’alaikum atau good morning, jadi hambar.
Ketika dia berlalu di depan kantor saya, di mana saat itu saya sedang berbicara dengan seorang klien, tidak terdengar kata ‘sapa’ darinya. Apalagi yang namanya senyuman. Ada rasa kurang nyaman dalam batin saya. “Why is this happened?” Perasaan semacam ini sudah tentu mengganggu. Amat kikuk saya dibuatnya. “Apa karena sikap penolakan saya kemarin ya?” Begitu saya pikir. Hampir satu jam ke depan sesudah saya melihatnya berlalu di depan kantor saya, batin ini tidak tenteram.

Apa yang saya lakukan kemudian adalah berpikir: “Jangan-jangan saya yang terlalu berperasaan?” “Ah…tidak juga!” Kembali saya berusaha membela diri. Saya tetap paksakan untuk mampu mengidentifikasi keganjilan-keganjilan ‘musuh’ saya di atas, agar analisa saya terhadapnya benar, bahwa dia memang ‘membenci’ saya. Kembali lagi, naluri saya berkata: “Bagaimana seandainya dia tidak mengalami perasaan seperti yang saya duga?”
Ketika saya bertemu dia bersama seorang rekan kerja lainnya di koridor kantor, sekitar 2 jam kemudian, dengan bertekad bulat, kayak film-film perang melawan penjajah, saya pegang lengannya.
“What happened…? I did not see you smiling since morning…?” Sambi saya coba menutupi mimik yang sebenarnya saya paksakan untuk bisa tersenyum senormal mungkin.
“My neck is pain…”Jawabnya ringan, agak lesu.
“Are you sure…..?” Tanya saya lagi, pura-pura kaget dengan keluhannya.
“Yes!!!” jawabnya membebaskan keraguan saya.
Oooppsss…..sesudah peristiwa pagi itu, baru saya merasakan lega sekali, seperti orang sesak nafas yang mendapatkan kembali oksigen yang telah hilang. Wah!!! Saya yang salah….!!!

*****

Budaya menyalahkan orang lain, atau Blame Culture, ada di mana-mana. Penyakit ‘hati’ dan ‘pikiran’ yang tidak bedanya dengan Virus Flu ini, amat mengganggu. Akibatnya besar, baik terhadap diri sendiri, keluarga, teman, rekan kerja, orang lain, masyarakat hingga organisasi. Kembali lagi, seperti Flu, kita sepertinya sudah terbiasa. Sehingga, keyakinan kita adalah: tanpa diobati juga sembuh sendiri. Artinya, tidak ada persoalan.

Sebenarnya, kalau kita mau sedikit saja meluangkan waktu dengan berpikir jernih, setiap masalah atau konflik relatif jadi mudah diselesaikan. Dengan menghapuskan budaya menyalahkan orang lain, kita akan mendapatkan kepuasan bahkan kebahagiaan.

Dari contoh pengalaman di atas, saya bisa simpulkan bahwa budaya menyalahkan orang lain ini dapat diatasi dengan: pertama, jangan menjeneralisasi pelaku kejadian karena individu hakekatnya adalah unik; kedua, setiap kejadian adalah proses yang bisa jadi kita berperan aktif di dalamnya sehingga siapa tahu justru kita pelaku utamanya; ketiga, mengenal waktu dan tempat kejadian; serta terakhir, tanamkan kepercayaan diri bahwa anda aktor utama yang sanggup menyelesaikan persoalan, bukannya detektif pencari tahu siapa yang salah.

Doha 16 February 2009
Shardy2@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer