Minggu, 29 Maret 2009

Don’t say ‘YES’, If It Hurts You


ArtikelOleh: Syaifoel Hardy

Sudah menjadi tradisi Timur, keterus-terangan kadang dianggap tabu. Sejak masih usia anak-anak, kita dididik untuk mesti patuh, kepada orangtua atau siapapun yang dianggap lebih tua, meskipun perintahnya tidak selalu benar. Dalam jangka panjang, ‘mind-set’ seperti ini tertanam kuat di dalam karaktek seseorang. Akibatnya, karatan, untuk mengubahnya, bukan perkara mudah.

Anak-anak biasa disuruh beli rokok, padahal di sekolah diajarkan bahwa rokok itu tidak sehat. Merokok di mana-mana di dalam rumah tidak jadi persoalan, seperti halnya kita minum teh atau ketela goreng. Di ruang tamu, kamar tidur, halaman rumah, hingga kamar mandi, penuh puntung rokok. Apatah lagi yang namanya di kendaraan maupun tempat umum lainnya. Tidak heran jika Indonesia mendapat julukan ‘The biggest ashtray in the world’ (Asbak terbesar di dunia). Ironisnya, tidak ada yang mampu melarang. Tidak ada yang berani berkata: ‘Tidak’, atau: “Jangan merokok di sini!” Buang sampah sembarangan juga tidak ada yang peduli. Begitu juga dengan yang namanya budaya antri, siapa yang berani menegur? Ketika saya ngantri di sebuah Money Changer di Doha beberapa bulan lalu, seorang warga kita, nyelonong aja ke depan, tanpa permisi, mendahului giliran yang mestinya saya. Oh, Indonesiaku!


Meski tidak semuanya, orang-orang Indonesia, lantaran budaya dan tradisi seperti ini, ditambah masa penjajahan yang begitu panjang, diperberat dengan masa Orde Baru, terbelenggu kebebasan ekspresinya. Mengemukakan pendapat, hanya santer di forum-forum televisi dan diskusi akademik. Orang sepertinya harus berpikir seribu kali apabila mau menyampaikan ketidak-setujuannya, atau ide yang berseberangan. Tidak heran, jika kita akhirnya jadi ‘makanan empuk’ negara-negara adi daya. Kita jadi sasaran segar mereka. Mulai yang namanya didekte, hingga dijajah. Indonesia merupakan lahan subur mereka dalam berbagai kebijakan, politik, ekonomi, pertahanan keamanan, tidak terkecuali di bidang kesehatan.

Artikel ini mengajak kita untuk mampu mengaji betapa banyak pihak-pihak yang kita rugikan hanya karena kita telah berkata ‘YA’ terhadap suatu ajakan, undangan, perjanjian, perintah dan lain-lain. Padahal, sejatinya dalam hati, kita tidak setuju. Meski jauh dari angka-angka statistic, lewat artikel ini, pembaca juga diajak berpikir analitis untuk belajar berkata ‘TIDAK’, sebagai jawaban yang tepat, bukan alternatif.

*****

Beberapa faktor yang melatar-belakangi ketidak-mampuan kita berkata ‘TIDAK’ adalah: pertama, individu (dari dalam). Menurut Dr. Marti Olsen Laney, seorang Psychoanalyst Amerika Serikat, dalam bukunya The Introvert Advantage (2006), kepribadian introvert ini memiliki kecenderungan tertutup, sehingga sulit menyampaikan kepada orang lain hal-hal yang ada dalam dirinya. Jangankan persoalan yang rumit, hal-hal yang sepele saja kadang tidak bakal diungkapkannya. Akan tetapi ada jalan keluarnya.

Yang kedua, lingkungan, seperti pendidikan, teman, kerabat, masyarakat, tempat kerja, aturan-aturan atau kebijakan, undang-undang dan lain-lain. Semua ini berpengaruh terhadap pertumbuhan kepribadian seseorang. Seorang anak yang dasarnya ‘pemberani’, namun karena sering mendapatkan tekanan di sekolah, aturan yang ketat atau pengajar yang tidak bersahabat, bisa mengakibatkan dia jadi penakut lantaran semua faktor luar ini.

Yang ketiga, kombinasi faktor internal dan external (pribadi dan lingkungan). Artinya, sudah dasarnya memang memiliki pribadi tertutup misalnya, ditambah dengan tidak adanya stimulasi selama proses belajar mengajar di sekolah atau kantor, akan memperparah keadaan. Karakter seseorang makin tertutup. Tahun lalu, terdapat 1.254 mahasiswa ITB yang di drop out, padahal belum tentu mahasiswanya yang salah (http://acip.multiply.com/journal/item/40). Namun bisa apa mahasiswa kecuali ‘membisu’? Mereka tidak terbiasa diajari berkata: “No!”.

Suatu hari, ketika saya keluar dari kamar, bau rokok menyengat. Saya langsung bertanya kepada penghuni di kamar sebelah yang sudah saya kenal.

“Asim….Are you smoking?” tanpa dua-tiga kali berpikir saya tanya dia.

“My friend came…and ehm….yes…he smoked…!” jawabnya sedikit terbatah seakan heran. “Why?” lanjutnya.

“I don’t like it!” Jawab saya tegas. “Please don’t do it next time!” Kata saya menambahkan.

“Okey!” jawab dia.

Sesaat kemudian, saya mendengar dia membuka jendela kamar tamu, pintu dapur kemudian menyalakan kipas angin di dapur dengan tujuan yang saya percaya anda tahu. Menghilangkan bau kurang sedap lantaran asap rokok.

Cerita singkat di atas merupakan contoh ekspresi keterbukaan yang berbuah. Diam, bukan berarti yang terbaik. Diam akan menyebabkan, pertama, terulangnya kejadian; kedua, menambah stress kita; dan yang ketiga, menimbulkan konflik intra-personal.

Di bawah ini merupakan enam langkah praktis yang bisa diterapkan, bagaimana berkata ‘TIDAK’, terhadap sesuatu yang dalam pandangan logika, pengetahuan, etika, kultural dan reliji, bisa dicerna.

Pertama, kenali diri sendiri. Kalau anda suka berdiam diri ketimbang melibatkan diri dalam kelompok, kurang suka bersosialisasi, anda bisa jadi termasuk dalam kategori introvert. Anda memiliki kecenderungan untuk menutup diri dan membatasi pergaulan dengan orang-orang sekitar. Anda bisa mengatasinya dengan cara bertahap. Misalnya, coba kemukakan hal-hal positif yang anda miliki kepada orang-orang yang anda rasa dekat serta mengerti akan kepribadian anda. Sampaikan apa yang menjadi kesukaan ataupun ketidak-sukaan anda kepadanya dengan sejumlah alasan yang kira-kira menurut anda dapat dimengerti atau diterima oleh orang lain. Misalnya, tentang akibat merokok di sembarang tempat bagi kesehatan, polusi dan pemborosan. Kemudian, tanyakan bagaimana pendapatnya tentang pola pikir anda yang demikian. Mintalah nasihat, bagaimana memulai menyampaikan ide kepada yang lain.

Kedua, kenali pribadi orang lain. Anda tidak bisa ngomong ‘seenaknya’, kepada orang yang duduk di sebelah anda ketika berada di bus umum , ketika dia sedang merokok, betapapun anda membencinya. Sikap santun perlu kita tunjukkan kepada orang lain. Respek merupakan prioritas kita apabila berhubungan dengan orang lain, meski sikap atau tindakannya tidak kita sukai. Makanya, ungkapan seperti: “Maaf, panas dan pengab di dalam bus ya Pak? Tolong rokoknya dimatikan?” bisa menjadi contoh ketidak-setujuan dalam bentuk permohonan sopan yang universal. Namun jika anda sudah kenal dengan orangnya, barangkali kata-kata ‘maaf, tolong, bagaimana jika…’ dan lain-lain, mungkin saja tidak perlu, walaupun yang ini tetap direkomendasikan sebagai adab berbicara. Jika menolak? Minta pihak yang berwenang untuk mengatasinya, misalnya kepada kondektur atau sopir bus nya. Susahnya, mayoritas orang kita perokok! Jadi, manajemen bus yang bertanggungjawab terhadap kepentingan publik.

Ketiga, jangan berikan ‘harapan’. Saya sering menjumpai janji-janji seperti ini. Sebagai contoh, “I will try to see you at 4 Pm!” Sepertinya tegas dan meyakinkan. Padahal, kata-kata ‘Ya, saya usahakan’, adalah ungkapan yang membuat orang lain berharap. Menolak tidak, menjanjikan belum pula pasti. Sejatinya, di balik ungkapan ini, anda hanya bermaksud tidak ingin menyakiti hatinya. Pada akhirnya, justru sebaliknya. Anda akan mengorbankan bukan hanya diri sendiri. Program orang lain akan berantakan apabila anda tidak dapat memenuhi apa yang anda telah sampaikan kepadanya. Kepercayaan orang terhadap anda juga bakal berkurang.

Demikian pula ungkapan ‘Insyaallah’ mestinya bagus dan sunnah dalam sudut pandang agama. Hanya saja, jangan diterjemahkan menjadi ‘insyaallah tidak bisa’. Insyaallah itu HARUS diterjemahkan menjadi probability, kemungkinan besar. Jangan justru sebaliknya. Saya biasanya menyindir rekan-rekan yang menjawab undangan atau ajakan saya dengan istilah ini. “What do you mean?” Seolah-olah saya tidak paham. Padahal, maksud saya agar jelas kecenderungannya. Mau atau tidak? Repotnya, kebanyakan istilah ini digunakan untuk menutupi ketidak-sanggupan lidah kita berkata ‘TIDAK’. Buntutnya, banyak orang yang mengkonotasikan istilah ‘Insyaallah’ ini jadi negatif.

Keempat, hindarkan ambiguitas. Kalau anda ada acara, sampaikan apa acaranya secara spesifik. Jangan bilang: “Bagaimana ya? Saya repot nih!” Ungkapan ini menunjukkan bahwa anda kurang pandai memprioritaskan kegiatan. Membuat orang lain jadi bingung apakah anda bisa memenuhi undangan, tugas atau pekerjaan sebagaimana yang diminta. Lebih baik katakan:”Saya akan bisa melakukan sesudah jam 5 sore nanti!” Atau berikan alternatif, “Bagaimana kalau kamu ajak si Fulan untuk membantumu?” Jika undangan lewat email, layaknya juga segera dijawab. Jangan dibiarkan seolah-olah tidak membuka email lama sekali atau ‘network problem’. Juga, jawaban lewat email ini pun, sebaiknya jangan di CC kemana-mana.

Kelima, katakan dengan sopan. Seringkali kita ‘menolak’ ajakan seseorang secara halus dengan berbagai ungkapan yang bersifat ‘memuji’. Misalnya, kegiatan ini bagus sekali, sayangnya saya sudah memiliki komitmen keluarga yang tidak bisa saya tinggalkan. Ungkapan seperti ini, meski kedengarannya sopan, sebenarnya prinsipnya sama dengan kata ‘TIDAK’.

Sekiranya anda setuju dengan ajakannya, sebaiknya katakan ‘YES, but NOT NOW!’ Atau, dengan catatan ‘lain waktu’ atau ‘Jika ada kesempatan lain’. Hanya saja, yang terakhir ini, harus anda perhatikan, supaya terhindar dari ‘track record’ jelek dalam buku hariannya. Lagi pula, agar anda tidak terkesan mencari-cari alasan. Jadi, seandainya memang tidak bisa, cukup katakan ‘Maaf saya tidak bisa datang. I am angaged with hospital appointment’ atau ‘Sorry I could not do it right now, I have to submit the document soon to so and so office!’ Cukup.

Keenam, jika dengan supervisor atau manager anda, kemukakan bahwa anda tidak menolak assignment nya, namun mintalah tenggang waktu (sebutkan apa yang anda kerjakan saat ini secara spesifik dan minta tenggang waktu, misalnya dua jam lagi) untuk merampungkan tugas anda. jika memaksa, sampaikan bahwa anda tidak bisa menyelesaikan dua tiga pekerjaan dalam waktu yang bersamaan, kecuali jika dia tidak menginginkan kualitas. Atau, usulkan orang lain yang kemungkinan bisa menyelesaikan pekerjaan.

Yang pernah saya alami ketika seorang senior meminta menyelesaikan 10 contoh case management dengan cepat waktu, sementara saya sibuk dengan pekerjaan lain, saya langsung katakan kepadanya: “Could you just give me one example of this case management? I will do the rest!” Pinta saya tegas. Karena saya yakin, dia tidak mampu melakukannya. Sesudah peristiwa itu, dia minta tolong pada orang lain dan tidak pernah kembali ke saya untuk urusan yang sama.

*****

Berkata ‘TIDAK’ atau ‘Menolak’ memang tidak gampang. Apalagi jika yang meminta kita adalah orang terdekat atau seorang pimpinan. Namun, bukan berarti kita tidak mampu melakukannya. Kita seringkali dihadapkan kepada situasi yang dilematis sekali, sehingga terkesan hanya karena tidak mau menyakiti hatinya, kemudian kita jawab ‘YESSS!' mantap. Padahal, jawaban ini sebenarnya bertentangan dengan hati nurani kita. Jawaban ‘YES’ yang tidak pada tempatnya, membuat hubungan dengan orang lain bisa rusak dan menyisakan stress berat bagi kita.

Itu bukan berarti, lantaran kita orangnya pemberani, lantas semua janji-janji, permintaan, tawaran, tugas dan undangan-undangan yang bertebaran itu, lantas kita jawab dengan ‘NO’. Jika ini yang kita lakukan, orang akan menilai, bahwa kita bukan sosok profesional yang mampu memprioritaskan kepentingan. Dudukkan jawaban YES atau NO pada proporsinya yang benar. Sikap ini bakal menghindarkan diri kita dari kejengkelan orang lain untuk kapok mengajak, mengundang atau berbagi tugas, lantaran respon negatif kita yang kebablasan!

Doha, 28 February 2009

Shardy2@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer